Penelitian Sejarah: Proses hingga Menjadi Karya

Sejarah sebagai ilmu memiliki risiko yaitu sejarah mau tidak mau harus terikat pada prosedur penelitian ilmiah. Sudah semestinya kita sadar bahwa penelitian ilmiah merupakan salah satu sumber dan upaya untuk mengembangkan setiap displin ilmu. Selanjutnya, pokok inti dari sebuah penelitian sejarah adalah bagaimana peneliti sejarah mampu untuk merekonstruksi masa lampau dengan data dan fakta yang tersedia di masa kini.

Langkah-langkah yang harus dijajaki dalam penelitian sejarah terbagi atas dua mahdzab besar, yaitu penelitian sejarah ala Kuntowijoyo dan ala Louis Gottschalk. Hanya satu hal yang membedakan keduanya, yaitu menurut Kuntowijoyo. Kuntowijoyo berpendapat bahwa semestinya ada satu tahapan penting lainnya yang harus dilalui oleh seorang peneliti sejarah sebelum melalui tahapan penelitian sejarah, yaitu Pemilihan Topik dan Rencana Penelitian. Sehingga dalam tahapan penelitian sejarah menurut Kuntowijoyo terdiri dari lima tahapan, sedangkan tahapan penelitian sejarah menurut Louis Gottschalk hanya ada empat tahapan. 

Tahapan-tahapan penelitian sejarah menurut Kuntowijoyo adalah (1) Pemilihan topik; (2) Heuristik; (3) Verifikasi; (4) Interpretasi; (5) Historiografi. Adapun tahapan penelitian sejarah menurut Louis Gottschalk adalah (1) Heuristik; (2) Verifikasi; (3) Interpretasi; (4) Historiografi. Berikut akan dijabarkan tentang fungsi disetiap tahapan-tahapannya.

Pemilihan Topik

Menurut Kuntowijoyo, pemilihan topik amat genting dilakukan karena pada dasarnya peneliti akan menulis tulisan sejarah sehingga topiknya pun harus topik sejarah dan dapat diteliti sejarahnya. Sehingga jangan sampai peneliti sejarah salah memilih judul yang justru berfokus kepada disiplin ilmu sosial lain, seperti ekonomi, sosiologi ataupun antropologi. 

Dalam memilih topik, para peneliti sejarah tak hanya dapat menunggu intuisi atau ilham dari langit dengan berjalan-jalan di taman, ada langkah-langkah yang harus dilakukan. Menurut Kuntowijoyo sendiri, syarat utama dalam menentukan topik sejarah adalah memilih topik yang baik dipilih berdasarkan kedekatan emosional dan kedekatan intelektual, Kuntowijoto berpendapat bahwa orang hanya akan memulai pekerjannya jika ia senang dan mampu untuk mengerjakannya. Setelah itu menurut R.M. Wilson ada tiga tahapan yang harus dijalankan untuk mendapatkan topik yang sesuai dengan keinginan, yaitu (1) Browsing For Ideas; (2) Analyzing For Ideas; (3) Developing The Tittle.

Dalam menentukan topik, para peneliti sejarah juga harus menghindari beberapa kesalahan teknis, seperti kesalahan baconian, terlalu banyak pertanyaan, pertanyaan yang bersifat dikotomi, memasukkan unsur metafisik dan memilih topik yang fiktif.

Setelah para peneliti sejarah menentukan topik yang ingin diteliti, maka langkah selanjutnya adalah membuat rencana penelitian. Menurut Kuntowijoyo, hal-hal yang harus hadir dalam setiap rencana penelitian adalah (1) Permasalahan; (2) Historiografi; (3) Sumber Sejarah dan (4) Garis Besar. Masalah pendanaan dan waktu yang terjadwal harus direncanakan pula karena terkait dengan pelaksanaan peneliti sejarah turun ke lapangan untuk mengambil data dan fakta.

Setelah selesai dalam pemilihan topik yang ternyata tak sesederhana yang dipikirkan, selanjutnya kita akan membahas tentang Heuristik atau Pengumpulan Sumber.

Heuristik (Pengumpulan Sumber)

Ketika para peneliti sejarah sudah memasuki tahap Heuristik, maka seorang peneliti sejarah sudah memasuki medan penelitian. Maka dari itu, peneliti sejarah mencari dan mengumpulkan sumber yang sebagian besar dilakukan dengan kegiatan bibliografis, sehingga dikatakan bahwa laboratorium para sejarawan adalah pepustakaan dan alat yang paling diandalkan adalah katalog. Hal yang menjadi catatan penting dalam melakukan kegiatan pengumpulan sumber adalah harus sesuai dengan jenis sejarah yang sudah ditentukan topiknya.

Dalam klasifikasinya sumber sejarah dapat diklasifikasikan menjadi (1) Sumber Sejarah bersifat Umum dan Khusus; (2) Sumber Sejarah Tertulis dan Tak Tertulis; (3) Sumber Sejarah Primer dan Sekunder.

Sumber Sejarah bersifat Umum dan Khusus

Sumber sejarah yang bersifat umum pada pengertiannya dapat digunakan sebagai sumber bagi hampir setiap cabang ilmu sejarah. Mislanya dokumen kenegaraan tahun 1995. Hampir setiap cabang ilmu sejarah dapat menggunakan sumber sejarah ini, misalnya sejarah politik sejarah nasional, sejarah kontemporer, sejarah ketatanegaraan dan sebagainya.  Berbeda dengan sumber sejarah khusus yang hanya digunakan untuk salah satu cabang ilmu sejarah saja. Misalnya data arkeologik yanh hanya memungkinkan untuk menyusun sejarah purbakala.

Sumber Sejarah Tertulis dan Tak Tertulis

Sudah jelas sumber tertulis adalah sumber yang terdapat tulisan didalamnya. Di Indonesia sendiri, sumber tertulis tertua di Indonesia ditemukan di Kalimantan Timur yaitu prasasti Yupa dari Kerajaan Kutai. Sumber tertulis terdiri dari sumber resmi dan tak resmi. Sumber tertulis resmi ialah sumber yang ditentukan oleh otoritas resmi pemegang kekuasaan, seperti laporan ataupun arsip-arsip kenegaraan. Sedangkan sumber tak resmi adalah sumber yang berada diluar itu semua, bisa buku-buku, majalah, koran, babad, surat-surat pribadi dan sebagainya.

Sumber tak tertulis dibedakan menjadi artefak, benda-benda dan oral sources. Artefak terdiri dari tembikar, keramik, lukisan tapak tangan atau binatang di gua-gua, sampah dapur, manik-manik dan sebagainya. Sumber sejarah kebendaan terdiri dari bangunan, monumen, senjata, candi, rumah dan sebagainya yang tentunya memiliki nilai sejarah yang berharga. 

Oral sources atau sejarah lisan merupakan salah satu bentuk sumber sejarah tak tertulis. Sejarah lisan terdiri dari cerita rakyat, mitos, legenda, cerita penglipur lara dan silsilah. Misalnya kisah tentang Nyi Roro Kidul, kisah Roro Jonggrang dan sebagainya. Namun, di era ini, sejarah lisan mengukuhkan dirinya menjadi salah satu sumber sejarah penting karena melalui wawancara, dapat diungkap pelaku-pelaku sejarah. Selain itu, peristiwa-peristiwa sejarah yang belum jelas duduk persoalannya, tak jarang dapat diperjelas menggunakan metode oral sources ini.

Sumber Sejarah Primer dan Sekunder

Sumber sejarah primer adalah sumber sejarahyang direkam dan dilaporkan oleh para saksi mata maupun data-data yang direkam dan dilaporkan oleh pengamat atau partisipan yang benar-benar mengalami dan menyaksikan sebuah peristiwa sejarah. Di sisi lain sumber sejarah sekunder merupakan sumber yang disampaikan bukan oleh orang yang menyaksikan suatu peristiwa sejarah, namun ia melaporkan apa yang terjadi berdasarkan kesaksian orang lain.

Tanpa menyepelakan sumber sekunder, sebagai sumber sejarah, sumber primer adalah sumber yang harus dikejar dan diburu lebih dahulu karena sumber ini yang paling valid dan reliabel. Dokumen yang termasuk dalam sumber-sumber sejarah antara lain manuskrip, arsip, surat-surat, buku harian, pidato, UUD, UU, piagam, keputusan, sumpah, deklarasi, proklamasi, sertifikat, surat edaran, laporan koran, peta, diagram, katalog, prasarti, rekaman pita, transkripsi dan laporan penelitian. Selain dokumen, makam kuno, mata uang, fosil, kerangka, pakaian, bahan makan, lukisan dan yang sejenisnya juga termasuk sumber primer.

Dalam heuristik, peneliti sejarah harus menghindari kesalahan-kesalahan yang umumnya dilakukan oleh peneliti sejarah. Seperti kesalahan holisme (yaitu kesalahan akibat memilih bagian yang penting dan menganggap bagian itu dapat mewakili keseluruhan), kesalahan pragmatis (kesalahan ini biasanya dilakukan untuk tujuan praktis, misalnya menyenangkan atasan atau dapat diartikan sebagai hanya memilih sumber berdasarkan tujuan yang dituju), kesalahan ad hominem (kesalahan yang merujuk pada seseorang), kesalahan kuantitatif (lebih memilih sumber dokumen daripada testimoni seseorang) dan kesalahan estetis (memilih sumber sejarah hanya yang memiliki nilai estetika).

Setelah berhasil melewati dua tahap yang krusial, selanjutnya para peneliti sejarah harus melewati tahap Verifikasi (Kritik Sumber).

Verifikasi (Kritik Sumber)

Setelah para peneliti sejarah berhasil mengumpulkan sumber, tahap selanjutnya yang harus dijajaki adalah kritik sumber atau verifikasi. Namun perlu dijadikan catatan bahwa proses heuristik dan verifikasi bukan sebuah kegiatan yang harus dilakukan terpisah, dalam prakteknya para peneliti sejarah banyak yang melaksanakan tahapan heuristik dan verifikasi sekaligus, hal ini terjadi semata-mata untuk mengefisienkan waktu para peneliti. Selanjutnya, dalam tahapannya, verifikasi itu memiliki dua macam, yaitu autensitas dan kredibilitas.

Autensitas

Autensitas atau sering juga dikatakan sebagai kritik eksternal berfungsi untuk menguji otensitas (keaslian) suatu sumber, supaya dapat diperoleh sumber yang betul-betul asli dan bukan tiruan bahkan palsu. Dalam konsep keaslian ini ada beberapa tingkatan sebagaimana tingkat kepalsuan, yaitu sepenuhnya asli, sebagian asli dan tidak asli.

Dibandingkan kritik internal, kritik eksternal lebih bergua untuk menguji sifat keaslian dokumen, sedangkan kritik internal lebih menekankan pengujian pada makna dan isi.

Kredibilitas

Berbeda dengan kritik eksternal yang menekankan uji klinis terhadap fisik suatu dokumen, kredibilitas atau kritik internal lebih menekankan pada isi dokumen. Kritik Internal ingin lebih mempertanyakan pada isi dokumen yang terkandung dalam suatu dokumen dengan asumsi apakah isi dokumen ini benar dan dapat dipercaya atau sebaliknya.

Seperti biasa, para peneliti harus menghindari kesalahan-kesalahan yang berpotensi terjadi ketika sedang menjajaki tahap verifikasi ini, misalnya kesalahan pars pro toto (menganggap bukti yang hanya berlaku sebagian dianggap berlaku untuk keseluruhan), kesalahan toto pro pars (peneliti mengemukakan keseluruhan dari bukti, sedangkan yang dimaksudkan adalah bukti untuk sebagian),  menganggap pendapat umum sebagai fakta, menganggap pendapat pribadi sebagai fakta, kesalahan angka yang presis, kesalahan bukti yang bersifat spekulatif.

Setelah berhasil melewati tiga tahap, selanjutnya para peneliti sejarah harus melewati tahap Interpretasi (Penafsiran).

Interpretasi (Penafsiran)

Interpretasi bermakna menafsirkan atau memberi makna kepada fakta-fakta dan data-data yang telah peneliti peroleh pada tahap heuristik dan verifikasi. Interpretasi diperlukan untuk membuat fakta-fakta dan data-data yang telah diperoleh dapat saling berbicara atau dapat saling terhubung. Perlu disadari bahwa data dan fakta yang luar biasa banyak itu hanyalah sebuah saksi-saksi bisu, maka dari itu untuk mengungkapkan makna dibaliknya, sejarah masih mengandalkan pada kekuatan informasi dari luar, itulah peran dari peneliti atau sejarawan.

Disisi lain, interpretasi sering dituduh sebagai biang subjektivitas dalam hasil tulisan sejarah. Klaim itu sebenarnya bagai dua sisi uang koin, disisi satu ia benar, namun disis lain ia juga salah. Hal tersebut dianggap benar karena data yang telah diperoleh tak bisa berbicara tanpa penafsiran peneliti atau sejarawan. Dikutip dari bukunya, Kuntowijoyo berpendapat bahwa peneliti atau sejarawan yang memiliki kejujuran akan menampilkan keterangan darimana data dan fakta itu ia peroleh, sehingga para pembaca bisa menafsirkan ulang. Itulah sejarah, subjektivitas memang diakui ada namun hal tersebut mesti dihindari. Interpretasi sendiri terdiri dari dua macam,yaitu Analisis dan Sintesis.

Analisis

Analisi adalah usaha sistematik untuk mengkaji suatu problem dengan melihat unsur-unsur yang mengandung beberapa kemungkinan. Dengan menganalisis bukti-bukti dari suatu bagian dan dikomparasikan dengan bukti-bukti bagian lainnya, serta kemudian digabungkan ke dalam kelompok-kelompok lainnya, terjadilah sintesis-sinstesis yang setiap tahapnya akan menuju sintesis total.

Sintesis

Sintesis memiliki arti menyatukan. Setelah data diperoleh perihal pertempuran, rapat-rapat, mobilisasi massa, penggantian pejabat, pembunuhan, orang-orang mengungsi, penurunan dan pengibaran bendera, kita temukan fakta bahwa telah terjadi revolusi. Jadi, revolusi adalah hasil interpretasi kita setelah data-data kita kelompokkan menjadi satu. “Mengelompokkan” data itu hanya mungkin kalau kita punya konsep. Revolusi adalah generalisasi konseptual yang kita peroleh dari pembacaan. Dalam interpretasi baik analisis maupun sintesis, orang bisa berbeda pendapat dan perbedaan pada interpretasi itu sah, meskipun datanya sama.

Setelah itu, peneliti lagi-lagi harus bisa menghindari kesalahan-kesalahan yang berpotensi terjadi pada tahap interpretasi ini, seperti kesalahan post hoc-propter hoc (menyimpulkan setelah ini, maka ini), tidak dapat membedakan mana alasan, sebab kondisi dan motivasi. Lalu kesalahan reduksionisme (menyederhanakan sebuah gejala yang sebenarnya bersifat kompleks) dan pluralisme yang berlebihan.

Setelah berhasil melewati empat tahap, selanjutnya para peneliti sejarah harus melewati tahap Historiografi atau penulisan yang merupakan bagian akhir dari tahapan penelitian sejarah.

Historiografi (Penulisan)

Historiografi menjadi sebuah sarana untuk mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkap, diuji dan diinterpretasi. Perlu dijadikan catatan bahwa penulisan sejarah tak sama dengan penulisan karya-karya ilmiah lain. Penulisan sejarah tak cukup hanya menghadirkan informasi dan argumentasi, namu turut diperlukan pula aturan logika, bukti empirik, struktur dan gaya bahasa, aksen hingga retorikanya. Apabila sejarawan atau peneliti sejarah mampu menampilkan kejelasan, keteguhan dan kekuatan, serta kerapian dalam ekspresi penulisan, maka hal itu akan mampu mencapai apa yang menjadi dambaan setiap sejarawan, yakni memadukan kesejarawanan dan kesasterawanan, antara keahlian dan ekspresi bahasa.

Penulisan sejarah dapat dikelompokan menjadi tiga jenis, yaitu tulisan secara naratif, deskriptif dan analitik. Perbedaan dari ketiga jenis tulisan ini sebenarnya tak terlalu nampak, namun sangat berguna untuk dapat membedakannya.

Penulisan Naratif dipergunakan untuk mengisahkan suatu cerita dan alur peristiwa-peristiwa menurut konsekuensi waktu. Sejarawan yang menulis menggunakan metode ini dapat memanfaatkan prinsip-prinsip penulisan drama ataupun penulisan cerpen. Namun yang perlu dijadikan catatan adalah sejarawan tetap dibatasi dan diikat oleh bukti-bukti sejarah. Keunggulan sejarah naratif ini adalah untuk meyakinkan para pembaca atau audiens bahwaapa yang dikisahkan bukan saja memang terjadi, namun audiens diajak seakan-akan hadir dalam peristiwa tersebut. Sehingga bobot kualitas dalam penulisan sejarah naratif bukan hanya berada di argumen-argumen historisnya, namun gaya bahasa atau retoriknya yang menawan nan indah turut memengaruhi kualitas dan kredibilitasnya.

Penulisan Deskriptif berupaya membentangkan masa lampau tanpa memberikan dimensi perubahan-perubahan dalam waktu. Fakta-fakta tersusun dalam suatu kesatuan seperti halnya fakta-fakta geografis dalam peta. Penulisan deskriptif biasanya dipergunakan untuk menggambarkan bentuk-bentuk struktur kelembagaan atau kehidupan masyarakat dalam periode waktu tertentu. Perbedaan antara naratif dan deskriptif terletak pada aksentuasinya, yaitu unsur waktu itu sendiri yang menjadi kerangka strukturnya. Maka naratif akan selalu bersifat kronologis.

Penulisan dengan analitik lebih banyak dipergunakan oleh para sejarawan profesional. Penulisan analitik lebih diutamakan untuk menampilkan analisis dan solusi suatu masalah. Struktur penulisan analitik lebih mengedepankan masalah-masalah dan bagian-bagian komponennya, menghadirkan bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan oleh sejarawan, dan menunjukkan melalui argumen-argumen yang rasional, bagaimana upaya pengujian bukti-bukti ini dapat menolong memecahkan problem-problem yang sedang dihadapi dan dipikirkan. Semua bentuk karya ilmiah yang diklasifikasikan sebagai ‘new history’ (sejarah baru) ditulis dalam bentuk analitik.

Seperti pada bagian sebelumnya, kesalahan-kesalahan tetap berpotensi terjadi pada proses penulisan yang menjadi bagian akhir dari proses penelitian sejarah ini. Kesalahan yang berpotensi terjadi antara lain kesalahan narasi, kesalahan argumentasi dan kesalahan generalisasi.

Begitu kiranya proses panjang penelitian sejarah yang harus siap peneliti lewati demi terciptanya ‘anak’ yang bisa menjadi secercah harapan supaya lebih banyak lagi orang-orang yang melek sejarah dan tidak dapat lagi menjadikan sejarah sebagai alat untuk politik praktis dan mempergunakan sejarah sebagai alat pemuas hawa nafsu dan kegiatan-kegiatan yang memiliki konotasi negatif lainnya.


Sumber Pustaka

Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Daliman. 2012. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Komentar

Postingan Populer